Kamis, 29 Maret 2012

Babad Wirasaba II

 oleh Handika Sasmito Aji 

        Pada masa kerajaan Demak, nama Wirasaba tidak muncul dalam percaturan sejarah Jawa. Baru pada masa kerajaan Pajang. Kadipaten Wirasaba II (zaman Islam) muncul kembali dalam teks-teks babad banyumas, yang merupakan bawahan kraton Pajang. Kadipaten Wirasaba I telah susut wilayahnya dan bukan lagi sebagai kadipaten ageng setelah dilepasnya wilayah sebelah barat gunung Sindoro-Sumbing(kedu) yang muncul menjadi kadipaten baru dibawah perintah langsung dari Pajang, yakni kadipaten Kedu temanggung).
 
       Pertengahan abad XVI Adipati Wirasaba Wargatuma I mengawinkan puterinya yang belum cukup umur, bernama Rara Sukartiyah, mendapatttkan Bagus Sukara anak Ki Gede Banyureka Demang Toyareka. Dalam hidup rumah tangga kedua pasangan itu tiada kecocokan. Pihak Puteri tidak bersedia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. 

       Akibat sikap istrinya itu, Bagus Sukra terpaksa pulang kerumah orang tuanya di Toyareka. Kepulangan puterinya itu diterima oleh Ki Gede Banyureka dengan hati masygul. Ia menganggap dan menuduh Adipati Wirasaba tidak bisa membimbing Puterinya. Dan rasa dendam mulailah bersarang dalam batin Ki Gede Banyureka.


    Begitulah sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang menjadi atasannya, secara bergilir meminta upetiseorang gadis yang masih suci kepada bawahannya, untuk dijadikan selir atau penari kesultanan. Karena kesetiannya, Adipati Wargautama I menyerahkan Rr Sukartiyah (Puterinya) kepada Baginda Sultan. Ia mengatakan kepada Sultan bahwa puterinya itu masih dalam keadaan suci. Selesai menghaturkan segera ia beranjak meninggalkan pendapa kesultanan.

      Tetapi sesaat kemudian, datanglah Ki Gede Bnyureka bersama Bagus Sukra menghadap Sultan. Kedua orang ini mengatakan, bahwa Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu isteri Bagus Sukra.
Mendengar laporan itu, murkalah Sultan Mandiwidjaya karena merasa dirinya telah dikibuli dan dihina oleh Adipati Wargautama I. Tanpa pikir panjang disuruhlah seorang gandek (prajurit)agar memburu dan membunuh Adipati Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.

    Setelah Ki Banyureka beserta anaknya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah dimintai keterangan. Rara Sukartiyah menjelaskan, dan mengakui bahwa dirinya memang masih menjadi isteri Bagus Sukra, tetapi sejak mulai kawin belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.

    Maka sadarlah Baginda Sultan, bahwa putusan yang diambilnya tadi sebenarnya sangat tergesa-gesa. Karenanya diperintahkan lagi seorang prajurit agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang akan oleh utusan pertama.

      Perjalanan Adipati Wirasaba Adipati Wirasaba sementara itu sudah sampai di desa Bener. Sedang mengaso di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu depannya dibawah pongpok) sambil makan hidangan nasi dan lauk daging angsa. Tiba-tiba datanglah seorang prajurit pajang dengan tombak di tangan siap membunuhnya. Tentu saja sikap prajurit Pajang itu menjadi kejutan bagi Adipati Wirasaba. Bersamaan dengan itu, dari kejauhanterdengar suara orang berteriak. Tatkala prajurit yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya (utusan kedua) melambaikan tangan. Tanpa piker panjang diutuskannya tombak itu kepada Adipati Wirasaba, sehingga korban jatuh terkapar berlumuran darah. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan ari Sabtu Pahing.

     Kedua prajurit itu kemudian menyesal, setelah sama-sama mengerti bahwa lambaian tangan tadi sebenarnya merupakan isyarat, agar pembunuhan dibatalkan. Sesaat sebelum menemui ajalnya Adipati Wargatuma I konon sempat member pesan, agar orang-orang Banyumas sampai turun-temurun jangan beprgian di hari sabtu pahing, jangan makan daging angsa, jangan menempati rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang. Karena menurutnya dapat mendatangkan malapetaka. Kecualai itu Adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka. Pesan-pesan tersebut dijadikan prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi kepercayaan turun temurun di sementara masyarakat Banyumas. Namun kepercayaan itu kini kini sudah semakin menipis, karena masyarakat kian menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan serta demi suksesnya pembangunan nasional.

Jenazah Adipati Wirasaba Wrgautama I kemudian dimakamkan di desa klampok Kabupaten Banjarnegara dan dikenal dengan sebutan makam Adipati Wirasaba.
 
hikmah yang dapat diambil dari babad tersebut adalah 
  • aja lelungan dina setu pahing, artinya dalam tradisi jawa adalah jangan bepergian, mantu, mbangun rumah, dan lain-lain di hari sabtu pahing.
  • aja mangan daging banyak, artinya sesama trah BANYAK jangan saling menzalimi. Hidup harus saling membantu tidak boleh saling menjatuhkan, apalagi satu trah.
  • aja nunggang jaran kulawu jongkla, artinya kuda pilihan tunggangan para senopati perang. penunggangnya pun harus tangkas dan gagah berani. wujud sikap ksatria biasanya menimbulkan sikap iri dan dengki dari pihak lain, bahkan kecurigaan dari pihak sang penguasa( jangan-jangan mau memberontak?), sehingga mudah menimbulkan fitnah. demikianlah peristiwa yang menimpa adipati.
  • aja manggon umah sunduk sate, artinya di Jawa sebagian besar adatnya istana menghadap simpang tiga jalan umum secara tegak lurus. maka yang sebenarnya adalah bersikap dan bertindak hati-hati jangan sampai menentang kehendak penguasa. akan tetapi secara rasional, rumah seperti itu memang sangat berbahaya dan tidak efisien. rumah pas di pertigaan tanpa ada halaman luas, jika ada angin kencang maka kotoran akan langsung masuk kerumah. begitu juga para maling akan lebih mudah dalam mencuri atau merampok sebuah rumah.

Sumber : Babad dan Sejarah Purbalingga, Tri Atmo, PemKab DATI II Purbalingga; 1984
                Banyumas (sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak), Budiono Herusatoto; 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar