oleh Handika Sasmito Aji
Pertengahan abad XVI Adipati Wirasaba Wargatuma I mengawinkan puterinya yang belum cukup umur, bernama Rara Sukartiyah, mendapatttkan Bagus Sukara anak Ki Gede Banyureka Demang Toyareka. Dalam hidup rumah tangga kedua pasangan itu tiada kecocokan. Pihak Puteri tidak bersedia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.
Akibat sikap istrinya itu, Bagus Sukra terpaksa pulang kerumah orang tuanya di Toyareka. Kepulangan puterinya itu diterima oleh Ki Gede Banyureka dengan hati masygul. Ia menganggap dan menuduh Adipati Wirasaba tidak bisa membimbing Puterinya. Dan rasa dendam mulailah bersarang dalam batin Ki Gede Banyureka.
Begitulah
sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang
menjadi atasannya, secara bergilir meminta upetiseorang gadis yang masih
suci kepada bawahannya, untuk dijadikan selir atau penari kesultanan.
Karena kesetiannya, Adipati Wargautama I menyerahkan Rr Sukartiyah
(Puterinya) kepada Baginda Sultan. Ia mengatakan kepada Sultan bahwa
puterinya itu masih dalam keadaan suci. Selesai menghaturkan segera ia
beranjak meninggalkan pendapa kesultanan.
Tetapi
sesaat kemudian, datanglah Ki Gede Bnyureka bersama Bagus Sukra
menghadap Sultan. Kedua orang ini mengatakan, bahwa Rara Sukartiyah yang
baru saja dihaturkan itu isteri Bagus Sukra.
Mendengar
laporan itu, murkalah Sultan Mandiwidjaya karena merasa dirinya telah
dikibuli dan dihina oleh Adipati Wargautama I. Tanpa pikir panjang
disuruhlah seorang gandek (prajurit)agar memburu dan membunuh Adipati
Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.
Setelah
Ki Banyureka beserta anaknya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah
dimintai keterangan. Rara Sukartiyah menjelaskan, dan mengakui bahwa
dirinya memang masih menjadi isteri Bagus Sukra, tetapi sejak mulai
kawin belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.
Maka
sadarlah Baginda Sultan, bahwa putusan yang diambilnya tadi sebenarnya
sangat tergesa-gesa. Karenanya diperintahkan lagi seorang prajurit agar
menyusul dan membatalkan hukuman mati yang akan oleh utusan pertama.
Perjalanan
Adipati Wirasaba Adipati Wirasaba sementara itu sudah sampai di desa
Bener. Sedang mengaso di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu
depannya dibawah pongpok) sambil makan hidangan nasi dan lauk daging
angsa. Tiba-tiba datanglah seorang prajurit pajang dengan tombak di
tangan siap membunuhnya. Tentu saja sikap prajurit Pajang itu menjadi
kejutan bagi Adipati Wirasaba. Bersamaan dengan itu, dari
kejauhanterdengar suara orang berteriak. Tatkala prajurit yang siap
membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya (utusan
kedua) melambaikan tangan. Tanpa piker panjang diutuskannya tombak itu
kepada Adipati Wirasaba, sehingga korban jatuh terkapar berlumuran
darah. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan ari Sabtu Pahing.
Kedua
prajurit itu kemudian menyesal, setelah sama-sama mengerti bahwa
lambaian tangan tadi sebenarnya merupakan isyarat, agar pembunuhan
dibatalkan. Sesaat
sebelum menemui ajalnya Adipati Wargatuma I konon sempat member pesan,
agar orang-orang Banyumas sampai turun-temurun jangan beprgian di hari
sabtu pahing, jangan makan daging angsa, jangan menempati rumah balai
malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang. Karena menurutnya
dapat mendatangkan malapetaka. Kecualai itu Adipati juga berpesan agar
orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka. Pesan-pesan
tersebut dijadikan prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi
kepercayaan turun temurun di sementara masyarakat Banyumas. Namun
kepercayaan itu kini kini sudah semakin menipis, karena masyarakat kian
menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan serta demi
suksesnya pembangunan nasional.
Jenazah
Adipati Wirasaba Wrgautama I kemudian dimakamkan di desa klampok
Kabupaten Banjarnegara dan dikenal dengan sebutan makam Adipati
Wirasaba.
hikmah yang dapat diambil dari babad tersebut adalah
- aja lelungan dina setu pahing, artinya dalam tradisi jawa adalah jangan bepergian, mantu, mbangun rumah, dan lain-lain di hari sabtu pahing.
- aja mangan daging banyak, artinya sesama trah BANYAK jangan saling menzalimi. Hidup harus saling membantu tidak boleh saling menjatuhkan, apalagi satu trah.
- aja nunggang jaran kulawu jongkla, artinya kuda pilihan tunggangan para senopati perang. penunggangnya pun harus tangkas dan gagah berani. wujud sikap ksatria biasanya menimbulkan sikap iri dan dengki dari pihak lain, bahkan kecurigaan dari pihak sang penguasa( jangan-jangan mau memberontak?), sehingga mudah menimbulkan fitnah. demikianlah peristiwa yang menimpa adipati.
- aja manggon umah sunduk sate, artinya di Jawa sebagian besar adatnya istana menghadap simpang tiga jalan umum secara tegak lurus. maka yang sebenarnya adalah bersikap dan bertindak hati-hati jangan sampai menentang kehendak penguasa. akan tetapi secara rasional, rumah seperti itu memang sangat berbahaya dan tidak efisien. rumah pas di pertigaan tanpa ada halaman luas, jika ada angin kencang maka kotoran akan langsung masuk kerumah. begitu juga para maling akan lebih mudah dalam mencuri atau merampok sebuah rumah.
Banyumas (sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak), Budiono Herusatoto; 2008